Rabu, 28 September 2011

PANTUN MELAYU (2)

Orang yang tiada berisi disindir pemantun dengan sanjaknya.

Ramai wayang main dipanggong
Panglima besar kena pasong
Tuan laksana buah kedempong
Luar berisi dalam kosong.


Dalam masyarakat lampau sampai kini permaduan dalam kalangan bangsa kita adalah suatu soal yang tiada habis-habisnya habis rata orang membicarakannya demikian juga pujangga-pujangga tiada ketinggalan, beliau merasa kesusahan permaduan sedalam-dalamnya seraya bernyanyi:

Kapal masuk ke Pulau Pinang
Singgah berlabuh diujung tanjung
Macam mana hati nak senang
Satu sangkar dua burung?


Sebuah lagu madu itu tiada tahan, tetapi tiada kekuatan hendak mengungkit tali-perkawinan maka menangislah ia dalam pantun:

Orang berbuai laju-laju
Hendak sampai keseberang
Buangkan sahaja bertentu-tentu
Bagai mayang dengan seludang.


Pujangga pemantun telah mengupas dan menyesali permaduan sebagai caranya dan kupasan serta sesalan tiadakah hilang-hilang, hidup terus dalam sanubari anak Melayu selagi pantun menguasai kesenian Melayu.

Kejadian yang sulit-sulit dalam rumah tanggapun tiada lepas dari perhatian pujangga-pantun, tambahan pula masyarakat lampau itu kecil, sesuatu kejadian lekas tersebarnya, maka datanglah pertanyaan halus-pedas yang dinyanyikan diumum:

Buah berembang, buah bedadar
Masakan seruntai, dua runtai
Bersubang disangka dara
Bagai mumbang ditebuk tupai.


Mereka yang bukan jauhari tiadalah pantun ini melinggis dia, tetapi yang ahli hanguslah menjadi abu.

Alangkah bagusnya aturan katanya ini, tiada sebuahpun yang melampaui batas, sepatah katapun tiada yang melanggar ketertiban, semuanya halus-manis, tetapi anak dara yang dalam pantun ini tiadalah mungkin diam lagi dalam kampung itu. Umum telah mengetahui halnya.

Demikian juga halnya dengan orang yang kikir, bakhil, dicerca serta disindir pujangga pantun kalam mereka menghambat segala lapis-an masyarakat tiada perduli kaya-miskin, pada mereka sama saja.

Beginilah sindiran untuk orang kaya tetapi sayang dan takut mengeluarkan duitnya:

Tikar pucuk tikar mengkuang
Pakaian raja anak Melayu
Ikan busuk jangan dibuang
Buat perencana taruk kayu.


Anak Melayu itu banyak merantau ke negeri orang tetapi hati itu lekas juga ke tanah air dan di rantau orang itu banyaklah pantun yang lahir, pukul rata pantun dagang ini amat sedih, mengandung keibaan hati akan halaman tempat main dan tepian tempat mandi dan sahabat-hati yang tinggal menunggu. Di sinilah derajat pantun naik sumarak setinggi-tingginya yang menakjubkan ahli-ahli bahasa.

Dalam pantun dagang itu banyak tersisip pantun kasih. Tuan dengarkah:

Sianggit paku lembayung
Gelenggang ada, dibawah budak
Menangis merengkuh dayung
Hendak pulang beremas tidak.


Alangkah susahnya pemuda ini di negeri orang, memburuh, menjadi anak perahu, berdayung hilir-mudik, membanting tulang, tetapi tinggal miskin juga.

Tetapi di rantau orang itu mungkin juga mengharum bunga kasih, tetapi panggilan tanah air itu Iebih kuat dan Ialulah pemuda itu pulang, meninggalkan kekasih di rantau itu, seperti kata pantun:

Hempaskan mentimun dendang
Kerantung beri bertali
Lepaskan dagang ‘nak pulang
Kalau untung ia kembali.


Kasih itu tiada putus, badan boleh hilang lenyap, hancur luluh, nyawa mungkin putus-terbang, tetapi kasih tidak, abadi, dari dunia sampai ke akhirat.

Berlagu pujangga:

Orang Jawa pulang ke Jawa
Membawa pulang tiang bersambung
Badan terletak putuslah nyawa
Nyawa tidak dapat dihubung.


Tetapi kasih itu hidup, pujangga pantun tiada puas bahwa dengan kematian badan itu turut pula mati kasih sayang, titiklah dari kalam mereka pantun-keyakinan yang berdiri melawan masa dan waktu, kepercayaan dan keputusan, yang berbunyi:

Kalau tuan mudik ke hulu
Carikan saya bunga kemboja
Kalau tuan mati dahulu
Nantikan saya di pintu sorga.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright 2011 @ Wiwin-Saputra!
Design by Wordpress Manual | Bloggerized by Free Blogger Template and Blog Teacher | Powered by Blogger